
Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar
pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan,
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Tokoh perintis ajaran Samin
Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang masyarakat samin meliputi; ide terbentuknya masyarakat samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin, pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya, perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisam ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena sampai saat ini masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan Orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang terbelakang, terisolir dan anti kemajuan. Karena penulis khawatir dari kesekian kalinya kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering dipertontontan, dan sangat mungkin terjadi pada pada entitas masyarakat samin.
Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan Sastroatmodjo (2003), film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin .
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.
Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca semuanya lebih terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam memandang sebuah reailtas yang ada.
Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah
Klopoduwur,
Blora,
Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan
Randublatung,
Kabupaten Bojonegoro,
Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari
pantai utara
Jawa sampai ke seputar hutan di
Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan
provinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah
Desa Klopodhuwur di
Blora dan
Desa Tapelan di
Kecamatan Ngraho,
Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya
Harry J. Benda dan
Lance Castles (
1960),
orang Samin di
Tapelan memeluk
saminisme sejak tahun
1890. Dalam
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (
1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut
Darmo Subekti dalam
makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (
1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun
1917, tersebar di
Blora,
Bojonegoro,
Pati,
Rembang,
Kudus,
Madiun,
Sragen, dan
Grobogan) dan yang terbanyak di
Tapelan.
Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup Masy Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan.
Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama,
orang Samin juga memiliki "kitab suci". "
Kitab suci"' itu adalah
Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain
Serat Punjer Kawitan,
Serat Pikukuh Kasajaten,
Serat Uri-uri Pambudi,
Serat Jati Sawit,
Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk
puisi tembang, yaitu suatu
genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani
kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah
negara batin yang jauh dari sikap
drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "
Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."
Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada
1859 dengan nama
Raden Kohar di
Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten
Blora. Ayahnya bernama
Raden Surowijaya atau
Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai
pertalian darah dengan
Kyai Keti di
Rajegwesi,
Bojonegoro dan
Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di
Kabupaten Tulungagung) pada
1802-
1826.
Pada
1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada
1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di
Blora bagian selatan dan
Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Pada
1907,
pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November
1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai
Ratu Adil dengan gelar
Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh
asisten Wedana Randublatung,
Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke
kota Padang,
Sumatra Barat), dan meninggal di
Padang pada
1914.
Tahun
1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada 1908,
Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di
Madiun, mengajak orang-orang
desa untuk tidak membayar
pajak kepada pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Pada
1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan
Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di
Grobogan.
Karsiyah menyebarkan ajaran Samin di kawasan
Kajen,
Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun
1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah
Jatirogo,
Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada
1914. Pemerintah
Belanda menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang pada petugas pajak, "
Iki duwite sopo?" (
bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan
uang itu ke sakunya sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah
Purwodadi dan di
Balerejo,
Madiun, sudah tidak lagi menghormati
pamong Desa,
polisi, dan
aparat pemerintah yang lain.
Dalam masa itu, di
Kajen Pati,
Karsiyah tampil sebagai
Pangeran Sendang Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di
Desa Larangan,
Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai
badut-badut belaka.
Di
Desa Tapelan,
Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu,
teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun
1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di
Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah
Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun
1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap
pemerintah kolonial menguap dan terhenti.
Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin,
perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “
Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang
pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan
syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi
Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa
ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap
sah walaupun yang menikahkan hanya
orang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang
Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam
Bahasa Jawa):
Basa Jawa | Terjemahan |
“Saha malih dadya garan, | "Maka yang dijadikan pedoman, |
anggegulang gelunganing pembudi, | untuk melatih budi yang ditata, |
palakrama nguwoh mangun, | pernikahan yang berhasilkan bentuk, |
memangun traping widya, | membangun penerapan ilmu, |
kasampar kasandhung dugi prayogântuk, | terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai, |
ambudya atmaja 'tama, | bercita-cita menjadi anak yang mulia, |
mugi-mugi dadi kanthi.” | mudah-mudahan menjadi tuntunan." |
Upacara dan tradisi
Upacara-upacara
tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain
nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan
daur hidup yaitu
kehamilan,
kelahiran,
khitanan,
perkawinan dan
kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.